Kurang Afdhol Kalau Tak Ada Bengawan Solo

Di tengah ingar bingar berbagai jenis musik tanah air, keroncong nyaris tak bersuara. Hanya segelintir orang yang masih suka dan mau memainkannya. Salah satunya adalah komunitas pecinta seni (Kompeni) Probolinggo.

M. SAID HUDAINI, Probolinggo
—-

Tembang Bengawan Solo mengalun merdu dari seorang perempuan paro baya berwajah indo Belanda. Sejumlah laki-laki gaek tampak serius memainkan alat musik mengiringi lagu keroncong karya Gesang itu sore kemarin.

Sore itu Kompeni sedang dapat job “manggung”. Kelompok keroncong itu sedang tampil live di Radio Bromo FM, radionya Pemkab Probolinggo. Sejumlah lagu mereka bawakan. Tak ketinggalan Bengawan Solo menjadi andalan.

Di kalangan pecinta keroncong, Bengawan Solo adalah lagu kebangsaan. “Belum disebut keroncong kalau tidak ada lagu itu. Kurang afdhol,” ujar Gatot Gayeng penggagas Kompeni Probolinggo.

Laiknya lagu kebangsaan, seluruh warga Kompeni yang mengaku cinta keroncong harus hafal. Tak cukup hanya hafal, mereka juga harus bisa menyanyikannya. Minimal ikut komat-kamit ketika lagu itu sedang dibawakan.

Selain lagu tentang bengawan yang kini sering menimbulkan banjir itu, masih ada judul lagu keroncong lain yang tak boleh dientengkan. Yakni Bunga Anggrek dan Langit Mendung Kutho Ngawi. Ketiga lagu itu hampir tak pernah luput dinyanyikan saat Kompeni tampil.

Kemasyhuran ketiga lagu itu sudah bukan cerita baru bagi kalangan penggemar keroncong di Indonesia. Semua sudah mafhum. Bahkan, bukan hanya orang Indonesia yang tahu dan menyukai lagu itu. “Bengawan Solo sudah dinyanyikan dalam versi bahasa Jepang, Belanda dan Indonesia. Bunga Anggrek sudah dinyanyikan dalam Indonesia dan bahasa Inggris. Ini pertanda bahwa lagu-lagu itu dikenal sampai ke luar negeri,” jelas Gatot.

Sayang, musik keroncong yang khas Indonesia lebih dihargai di negeri lain ketimbang di negerinya sendiri. Sejak mendirikan Keroncong Gayeng 1998 lalu (sebelum Kompeni lahir, Red) Gatot mengaku lebih sering diundang orang asing. “Sepertinya orang Indonesia malu mengundang dan mendengarkan musiknya sendiri,” kata Gatot.

Berakar dari keprihatinan itu lahirlah Kompeni Probolinggo. Berawal dari ajang kumpul-kumpul dalam acara 2 Jam Bersenandung di Bromo FM, Gatot bertemu banyak teman. “Ternyata banyak di antara kami yang diam-diam menyukai lagu keroncong,” ujarnya.

Sama-sama menyukai kereoncong adalah alasan pertama Gatot dan kawan-kawannya melahirkan Kompeni. Bertempat di rumah Gatot di Jl Thamrin 6, sebulan lalu Kompeni resmi didirikan. Anggotanya boleh siapa saja. Baik bisa maupun tak bisa bermain musik tidak dilarang bergabung menjadi anggota Kompeni.

Sebab itu, jumlah anggota Kompeni tak cukup dihitung hanya dengan jari tangan dan kaki. “Jumlahnya anggotanya sekarang kurang lebih 82 orang. Sebagian bisa bermain musik atau menyanyi. Sebagain lagi bergabung hanya karena suka keroncong,” kata Gatot.

Juwito, pemain ukulele Kompeni menyatakan sudah menyukai keroncong sejak tahun 60-an. Laki-laki 68 tahun itu mengaku mengawali karirnya sebagai anak band, bukan anak keroncong. “Dulu saya saya memainkan saxophone. Tapi sekarang sudah tua. Sudah ndak kuat,” ujar kakek yang hobi nonton acara keroncong TVRI itu.

Sebagian besar anggota Kompeni saat ini sudah berumur di atas 50 tahun. Tak jarang kakek-kakek dan nenek-nenek ikut bernostalgia menikmati musik yang konon ada sejak zaman penjajahan Portugis itu.

Meski sudah tak terlalu populer, musik keroncong berhasil melewati banyak zaman. Bahkan melampaui beragam perbedaan golongan di Indonesia. Gambarann kecilnya ada di Kompeni Probolinggo. Selain diikuti oleh sekumpulan tiyang sepuh, Kompeni diikuti oleh anggota dari berbagai etnis.

Cotohnya saja Mia, perempuan yang aktif menyanyi di Kompeni itu, adalah keturunan Belanda. “Mungkin darah nenek moyangnya yang dulu menyukai musik keroncong diwariskan padanya,” ujar Gatot.

Kalau Mia keturunan Eropa, ada Gaeti anggota Kompeni yang keturunan Tionghoa. “Kita ini lengkap. Ini musik Indonesia,” kata Gatot. Meski berasal dari banyak warna hanya ada satu harmonisasi suara.

Secara musikalitas keroncong berbeda dengan musik yang lain. Dalam bermain, tak ada instrumen yang lebih menonjol dibanding yang lain. Gitar, cello, ukulele (cuk dan cak), melodi, biola semua bermain dalam porsi yang seharga. “Kalau diibaratkan organisasi, tak ada satu yang lebih hebat dibanding yang lain. Kurang satu instrumen saja, kurang hidup,” kata Gatot.

Cara memainkan musik keroncong sebenarnya tidak mudah. “Sebenarnya lebih sulit. Tidak sesederhana seperti yang dibayangkan. Musik ini sebenarnya lebih variatif,” katanya.

Keinginan Kompeni untuk melestarikan musik Indonesia layaknya mendapat dukungan semua pihak. “Alhamdulillah, kita akan mendapat bantuan bass besar dari wali kota,” kata Gatot.

Jika musik adalah bagian dari cara manusia berbudaya, tentu tak ada satupun yang boleh hilang dari catatan sejarah. (*)
Radar Bromo, Kamis, 10 Apr 2008

0 comments: